Doa pada 7 atau 40 Hari Setelah Kematian
08/01/2008
Sudah menjadi tradisi orang NU, kalau ada keluarga yang meninggal,
malam harinya ada tamu-tamu yang bersilaturrahim, baik tetangga dekat maupun
jauh. Mereka ikut belasungkawa atas segala yang menimpa, sambil mendoakan untuk
yang meninggal maupun yang ditinggalkan.
Selain bersiap menerima tamu, sanak keluarga, handai tolan, dan
keluarga dekat, pada hari kedua sampai ketujuh, mereka akan mengadakan bacaan tahlil
dan do’a yang dikirimkan kepada yang sudah meninggal
dunia. Soal ada makanan atau tidak, bukan hal penting, tapi pemanfaatan
pertemuan majelis silaturrahim itu akan terasa lebih berguna jika diisi dengan dzikir.
Sayang, bagi orang-orang awam yang kebetulan dari keluarga miskin,
mereka memandang sajian makanan sebagai keharusan untuk disajikan kepada para
tamu, padahal substansinya sebenarnya adalah bacaan tahlil dan do’a
adalah untuk menambah bekal bagi si mayit.
Kemudian, peringatan demi peringatan itu menjadi tradisi yang
seakan diharuskan, terutama setelah mencapai 40 hari, 100 hari, setahun (haul),
dan 1000 hari. Semua itu berangkat dari keinginan untuk menghibur pada keluarga
yang di tinggalkan sekaligus ingin mengambil iktibar bahwa kita juga akan
menyusul (mati) di kemudian hari.
Dalil yang dapat dibuat pegangan dalam masalah ini adalah:
قال طاوس:اِّنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِى قُبُوْرِهِمْ
سَبْعًا فَكَنُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ
اِلَى اَنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتن رَجُلَانِ مُؤْمِنٌ
وَمُنَافِقٌ ,فَأمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتن سَبْعًا وَأَمّا الْمُنَافِقُ فَيُفْتن
اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا.
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari
Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih
hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut.
Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama
akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selama
7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II
hal 178)
Jika suatu amaliyah atau ibadah sudah menjadi keputusan atau atsar
atau amal sahabat (dalam hal ini Tاawus) maka hukumnya sama dengan hadits mursal yang sanadnya sampai
kepada Tabi’in, dan dikatagorikan shahih dan telah dijadikan hujjah mutlak
(tanpa syarat). Ini menurut tiga imam (Maliki, Hanafi, Hambali).
Sementara Imam Syafi’i hanya mau berhujjah dengan hadits
mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait
dengannya, seperti adanya hadits yang lain atau kesepakatan sahabat. Dalam hal
ini, seperti disebut di atas, ada riwayat dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair
yang keduanya dari golongan Tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.
Maksud dari kalimat فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ atau "sebaiknya mereka"
dalam keterangan di atas adalah bahwa orang-orang di zaman Nabi Muhammad
SAW melaksanakan hal itu, sedang Nabi sendiri tahu dan mengafirmasinya. (Al Hawi lil Fatawa as Syuyuti, Juz
II hal 183)
KH Munawwir Abdul Fattah
Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta
Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta

0 komentar:
Posting Komentar